Kamis, 03 Juni 2010

Nilai Diri

Nilai Diri


Suatu ketika, ada seorang kakek yang sedang berada di sebuah taman kecil. Di dekatnya terdapat beberapa anak yang sedang bermain pasir, membentuk lingkaran. Sang kakek lalu menghampiri mereka, dan berkata: “Siapa yang mau uang Rp. 10.000!!” 

Semua anak berhenti bermain dan serempak mengacungkan tangan. 

Ia lalu berkata, “Kakek akan memberikan uang, tapi setelah kalian semua melihat ini dulu.”
Kakek tua itu lalu meremas-remas uang itu hingga lusuh. Di remasnya terus hingga beberapa saat. Ia lalu kembali bertanya “Siapa yang masih mau dengan uang ini ?” 

Anak-anak itu tetap bersemangat mengacungkan tangan.“

“Tapi, kalau kakek injak dan uangnya tambah lusuh bagaimana?“ Lalu, kakek itu malah menjatuhkan uang itu ke tanah dan menginjaknya dengan sepatu. Di pijak dan di tekannya keras-keras uang itu hingga kotor. Beberapa saat Ia lalu mengambil kembali uang itu. Dan ia kembali bertanya,“Siapa yang masih mau uang ini?” 

Dan tetap saja, anak-anak itu mengacungkan jari mereka tanda mereka masih mau dengan uang tersebut walaupun sudah lusuh dan kotor….

Saudaraku, dari cerita di atas kita dapat belajar sesuatu yang sangat berharga. Apapun yang dilakukan Si Kakek, semua anak akan tetap menginginkan uang itu. Sebab tindakan itu tak akan mengurangi nilai dari uang yang akan diberikan Sang Kakek. Walaupun lusuh dan kotor, uang itu tetap berharga Rp. 10.000

Seringkali dalam hidup ini kita merasa lusuh, kotor, tertekan, terinjak ataupun tak kuasa atas segala keputusan yang telah kita ambil. Kita juga kerap mengeluh atas semua ujian yang di berikan-Nya. Kita seringkali merasa tak berguna, kotor, dan tak berharga di mata orang lain. Kita merasa di sepelekan, diacuhkan dan tak dipedulikan oleh keluarga, teman, bahkan oleh lingkungan kita. Namun, percayalah, apapun yang terjadi, atau “bakal terjadi”, kita tak akan pernah kehilangan nilai kita di mata Alloh.

Bagi-Nya, lusuh, kotor, tertekan, ternoda, selalu ada kesempatan bagi kita untuk maaf dan ampunan-Nya. Nilai dari diri kita, tidak timbul dari apa yang kita sandang, atau dari apa yang kita dapat. Nilai diri kita di mata Alloh tidak diukur dari sempurnanya fisik kita, dari rapihnya pakaian kita, dari tingginya jabatan kita. Namun nilai diri kita ditentukan oleh seberapa besar usaha kita memberi bobot pada diri kita yaitu nilai keimanan dan ketaqwaan kita, bukan pada kenampakan fisik semata…

Wallohu a’lam bishshowab.....  (sumber dari PITI)

Jumat, 21 Mei 2010

Detik-detik Rasulullah SAW Menjelang Sakaratul Maut

Detik-detik Rasulullah SAW Menjelang Sakaratul Maut

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap.

Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan
Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman
menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah
tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu.Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah
hendak di kenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tak ikut menyertai. Kemudian
dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap diatas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril.

Tapi itu ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar
kabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada didalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kaupalingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. "Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat
niat maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku, peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan.Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya? Allahumma sholli
'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi